TEKNOLOGI INFORMASI DAN KESIAPAN PUSTAKAWAN

  1. Pendahuluan
    Perkembangan Teknologi Informasi merupakan peluang dan tantangan yang akan dihadapi oleh pustakawan. Informasi yang ada akan terus dan semakin mengembang. Seiring dengan itu, pustakawan akan dihadapkan pada suatu tatanan masyarakat “baru,” yakni masyarakat informasi.
    Informasi memerlukan saluran yang tidak lain dan tidak bukan adalah saluran komunikasi. Teknologi telah siap menghadapi kebutuhan akan saluran dimaksud dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pengirim dan penerima yang berjauhan dalam waktu singkat, yang tidak mungkin lagi dibatasi oleh ruang dan waktu .

Perpustakaan merupakan salah satu dari lembaga pengelola informasi, terutama informasi terkait dengan ilmu pengetahuan. Ledakan informasi yang melibatkan seluruh infrastruktur informasi membuat pustakawan mempunyai “saingan.” Persaingan ini dapat menjadikan pustakawan sebagai peluang atau tantangan, bagi pustakawan yang kreatif, memiliki dedikasi tinggi dan kemampuan untuk mengaplikasikan teknologi informasi akan menjadi ujung tombak dalam penyebaran informasi, sedang bagi pustakawan yang malas dan tidak kreatif akan semakin tertinggal oleh perkembangan infromasi yang ada. Tantangan kedepan bagi pustakawan semakin berat, karena dituntut selalu berupaya melaksanakan tugasnya di bidang informasi, terutama dalam rangka menjalankan fungsi pendidikan.

  1. Penerapan Teknologi Informasi dan Kesiapan Pustakawan


Sampai saat ini belum ada satu pun pusdokinfo di Indonesia yang telah menerapkan Teknologi Informasi (automasi) secara penuh. Beberapa di antara pusdokinfo memang telah memanfaatkan komputer untuk pekerjaan rutin, administrasi, atau penelusuran, akan tetapi komputer belum terpasang dalam sebuah sistem yang utuh. Sistem automasi yang utuh diartikan sebagai sebuah sistem yang merangkai secara terpasang (online) ke setiap jenis kegiatan di perpustakaan, sehingga informasi yang dihasilkan bersifat serta merta (instant information) atau data terpusat di satu tempat (file server) yang dapat dimanfaatkan melalui terminal-terminal secara serentak.

Melihat kondisi di atas, dapat dikatakan perkembangan automasi di pusdokinfo amat lamban, karena tidak sedikit pusdokinfo yang mampu mengadakan perangkat keras komputer. Dan begitu pula, mengikutkan para pustakawan ke pelatihan-pelatihan di bidang automasi pun telah sering dilakukan. Bahkan pustakawan seakan-akan sangat akrab dengan kata-kata automasi, internet, dan kata-kata lain yang mencerminkan bahwa pustakawan telah mengenal dengan baik dengan automasi.

Namun kenyataan dilapangan masih sangat memprihatinkan kondisinya, yang menjadi pertanyaan, mengapa perkembangan automasi di perpustakaan masih tertatih-tatih ?

Sebenarnya keberasilan penerapan teknologi informasi (automasi) itu lebih banyak tergantung pada manusia dan bukan pada perangkat keras atau perangkat lunak. Artinya, untuk menerapkan sistem automasi tidak mesti harus menggunakan perangkat yang bermerk tertentu atau perangkat lunak tertentu, namun kinerja sistem automasi ini lebih dipengaruhi oleh kesiapan manusia (pustakawan) pengguna sistem tersebut.

Terkait dengan masalah diatas, ternyata terdapat dua kelompok manusia (pustakawan) yang dibagi berdasarkan sikapnya terhadap sistem utomasi.

Kelompok pertama adalah manusia (pustakawan) yang menerima
sistem automasi secara antusias dan memperlihatkan minat mereka dengan mempelajari sistem dan terlibat dalam program-program pelatihan.

Kelompok kedua adalah manusia (pustakawan) yang menolak sistem automasi, biasanya pustakawan yang lebih senior. karena kelompok ini tidak mempercayai dan berusaha menghindari benda itu. Mereka terbelenggu oleh perasaan khawatir dan lebih tertarik pada sistem yang konvensional. Mereka juga khawatir akan kehilangan pekerjaan karena pekerjaan tersebut digantikan oleh komputer. Sikap kelompok yang menolak sistem automasi demikian barangkali dapat “dipahami” karena, bagaimanapun, penerapan komputer di pusdokinfo sedikit banyaknya akan menyebabkan perubahan pada sistem dan prosedur kerja. Tentunya tidak semua orang “diuntungkan” oleh perubahan tersebut. Orang-orang yang merasa tidak mampu menggunakan komputer akan merasa cemas karena posisinya mungkin akan digantikan oleh orang lain yang bisa mengoperasikan komputer. Demikian juga, beberapa kebiasaan dalam bekerja tentunya perlu berubah pula dan tidak semua orang dapat mengubah kebiasaannya.

Salah satu cara mengubah sikap negatif pustakawan yang menolak sistem automasi adalah dengan melibatkan pustakawan dalam pembangunan sistem tersebut sejak awal. Dengan demikian, pustakawan bisa meyakinkan dirinya bahwa dia tidak akan ditinggalkan atau digantikan oleh komputer. Sekaligus, pustakawan akan mengetahui hal-hal yang dibutuhkan dalam lingkungan yang terautomasi sehingga dapat menyiapkan dirinya agar tetap terlibat di dalam sistem tersebut. Keterlibatan pustakawan dalam proses perencanaan maupun penerapan sistem automasi juga akan membentuk cara pandang pustakawan yang positif tentang sistem automasi.

Disisi lain kemampuan menggunakan komputer para pustakawan yang belum merata dan masih rendahnya kemampuan mamahami program aplikasi yang berbahasa Inggris menjadikan kendala bagi para pustakawan untuk mengembangkan sistem automasi.

Upaya peningkatan kemampuan pustakawan memang telah sering dilakukan, misalnya dalam pelatihan sistem automasi, digitalisasi perpustakaan atau yang lainnya. Akan tetapi kebanyakan materi yang diberikan lebih banyak menekankan pada keterampilan menggunakan atau operasional program tertentu yang kurang bermanfaat dalam pekerjaan kepustakawanan. Dan seringkali pelatihan tidak memberikan materi tentang konsep automasi dan komputer.

Dari pandangan sekilas, salah satu kendala dalam pengoperasian program-program itu adalah kurang sesuainya fasilitas program dengan kebutuhan pustakawan, misalnya dalam hal prosedur kerja atau bentuk keluaran (output) tercetak. Sebagai akibatnya, pustakawan menjadi kurang “bergairah” apalagi bila program aplikasi tidak memiliki fasilitas yang diperlukannya.
Hampir semua program aplikasi dibuat oleh perancangnya berdasarkan pengetahuan perancang tentang pusdokinfo dan bukan berdasarkan kebutuhan pustakawan. Pustakawan “dipaksa” mengikuti kemauan program dan bukan sebaliknya program yang mengikuti kebutuhan pustakawan. Keadaan demikian dapat dibalik dengan melibatkan pustakawan dalam merancang program aplikasi, misalnya dalam hal struktur data, format tampilan, atau bentuk keluaran. Untuk itu dibutuhkan jalinan kerja sama antara perancang program (mungkin dari bidang ilmu komputer) dan pustakawan.

  1. Penutup


Sebagai seseorang yang bergelut dengan informasi, pustakawan harus lebih menguasai tentang automasi (komputer) daripada orang lain diluar profesi pustakawan, minimal dalam hal pengoperasiannya komputer pustakawan seharusnya lebih terampil dan mampu. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Kita lihat salah satu titik sudut teknologi informasi saja, yaitu sistem automasi belum bisa diterapkan secara optimal di perpustakaan sebagai mitra pustakawan. Karena kalau kita lihat penyebab tidak berjalanannya pengembangan sistem automasi perpustakaan yang paling dominan disebabkan oleh faktor manusia.
Dari uraian diatas dapat kita ketahui ada beberapa aspek yang berkaitan dengan faktor manusia tersebut :

(1) Sikap pustakawan ; ada adanya sikap pustakawan yang berseberangan yaitu satu pihak bersikap antusias menerima sistem automasi dan satu pihak menolak sistem automasi.

(2) Kemampuan pustakawan; kemampuan pustakawan dibidang sistem automasi dan pemahaman terhadap sistem automasi belum merata dan masih rendah

(3) Perancangan program aplikasi; sistem perancanangan aplikasi program automasi kebanyakan tidak berdasarkan dengan kebutuhan pustakawan, sehingga struktur data, format tampilan, atau bentuk keluaran tidak sesuai kebutuhan pustakawan.

(4) Materi Pelatihan atau pendidikan kepustakawanan ; materi pelatihan atau pendidikan biasanya hanya memberikan bekal keterampilan mengoperasikan (operator) sistem automasi, akan tetapi tidak sampai pada materi tentang konsep sistem automasi.

Beberapa aspek tersebut diatas perlu mendapat perhatian para pustakawan baik sebagai staf, pimpinan, maupun pengembang ilmu perpustakaan. Dimasa mendatang diharapkan pustakawan akan lebih siap memanfaatkan komputer (sistem automasi) atau teknologi informasi. Para pustakawan seharusnya diajak serta dalam membangun sistem automasi perpustakaan dan menyamakan persepsi mengenai sistem automasi perpustakaan

D. Bahan Bacaan :

1. Hariyadi, Utami. (1993). “Penerapan teknologi informasi di perpustakaan di

Indonesia.” dalam Laporan Kongres VI dan Seminar IPI, Padang, 18-21 November 1992. editor Hendrata Kusbandarrumsamsi, Jakarta: PB IPI.

2. Indonesia. Perpustakaan Nasional. (1999). Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia nomor 72 tahun 1999 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional pustakawan dan angka kreditnya. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

3. Kusumaningrum, Indrati. (1998). “Keberhasilan penerapan otomasi perpustakaan sebagai suatu inovasi di perguruan tinggi.” Forum Pendidikan. Nomor 02, Tahun XXIII-1998. pp. 117-139..

3. Septiyantono, Tri. (1997). “Pemanfaatan multimedia di pusdokinfo.” Makalah pada Kursus Penyegaran dan Penambah Ilmu Perpustakaan, Dokumentasi, dan Informasi (KPP Pusdokinfo) VI, Depok, 13-17 Oktober 1997.

4. Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.1, No.2, Desember 2005 Ardoni: Teknologi Informasi: Kesiapan Pustakawan Memanfaatkannya USU Repository © 2006 Halaman 36